Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Minggu, 16 Oktober 2011

Merangkai Kembali Kejayaan Batik Tuban

oleh: Warni Hyang Warni

Siapapun tahu jika batik khas dari Kabupaten Tuban adalah batik Gedok. Konon batik dengan ornamen bunga, tumbuhan, hewan dan laut itu menjadi khas karena dibuat dnegan tangan terampil. Lebih dari itu, batik khas daerah pesisir Jawa ini dipengaruhi juga kultur China.

Pengaruh budaya negeri China itu, menurut sejumlah tokoh masyarakat di Tuban,  ikut diusung  para pedagang dari China yang masuk wilayah Tuban. Tentunya semasa Tuban masih menjadi bagian dari teritorial kerajaan Majapahit semasa pemerintahan R Wijaya. Dimana arus perdagangan pun sampai menembus negeri China, bahkan sampai jazirah Arab. Para pedagang itu pula yang membawa pengaruh goresan dari ornamen batik di Tuban, dan sejumlah daerah sekitarnya.



Sedangkan penamaan Gedok pada batik khas Tuban, lebih pada bentuk kain dasar yang dipakai membatik. Performa kain gedok sangat kasar. Dibuat dari pintalan benang  kapas dengan teknologi sederhana. Bunyi perangkat pemintal benang, “dok, dok, dok”  itulah yang menjadikan kain tersebut disebut kain gedok. Pada gilirannya setealh dibuat batik, disebut pula batik Gedok.

Kini batik Gedok dengan beragam teknis membatik dari bahan baku alamiah, telah sulit ditemui. Bahkan bisa dibilang langka karena tergeser bahan pewarna kimia. Dan kualitas batik Gedok pun tak sebaik sebelumnya, disaat pembatik membuat pewarna tradisional dari bahan non kimiawi.

Kini fenomena kembali pada alam didedikasikan para aktivis perempuan dari Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban, ketika bekerjasama dengan PT Semen Gresik Tbk (PT SG) dalam program CSR terhadap kaum perempuan desa sekitar pabrik SG di Tuban. Batik dengan bahan pewarna herbal, menjadi hal terbaru dalam khasanah perbatikan di Bumi Ranggalawe. Temuan bahan ini merupakan kali pertama di Tuban.

“Batik herbal memang berbeda dengan batik lainnya, kita mengembangkan penggunakan bahan alami untuk membatik,” kata Direktur KPR Tuban, Nunuk Fauziah, saat ditemui di tempat pelatihan batik herbal di Desa Margomulyo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, akhir pekan lalu.

Dari segi waktu memang batik herbal relatif lebih lama. Jika bahan biasa (kimia) selembar kain batik butuh sekali pencelupan untuk satu warna. Sedangkan kalau batik herbal satu pewarnaan butuh sampai sembilan kali pencelupan.

Itu terjadi karena bahan pewarna yang dipakai untuk batik herbal, bukan bahan sintesis. Bahkan diambil dari daun dan bunga-bunga yang ada di sekitar permukiman warga di sekitar lokasi pabril PT SG di  Tuban. Hampir semua pepohonan maupun bunga yang menjadi green belt lokasi pabrik bisa dipakai jadi bahan pewarna.

"Memang  proses pembuatannya lebih rumit dan butuh ketelatenan lebih,” ujar Sarofah, salah satu peserta pelatihan batik herbal yang ditemui di lokasi pelatihan. Ia terlihat serius mengguratkan canting di selembar kain putih yang telah diberi pola, bunga, ranting dan dedaunan.
Perempuan asal Desa Karanglo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban ini tetap berharap, di samping skill yang telah dimiliki dari mengikuti pelatihan, ada bantuan market dan permodalan setelah bisa memproduk batik herbal. Sehingga, apa yang telah dilakukan dalam tahap awal mengikuti pelatihan ini, bisa bermanfaat untuk peningkatan ekonomi keluarganya.

Lamanya proses pembuatan dan dukungan alam, dalam bentuk iklim yang bagus, sangat menentukan kualitas batik herbal. Apalagi teknis pengeringannya juga menggunakan cara teradisional dalam bentuk penjemuran di terik matahari.

Dalam kondisi normal untuk menjadikan selembar batik Gedok maupun batik berbahan sintetis, bituh waktu tiga hari sudah selesai. Lain halnya dnegan batik herbal, butuh waktu dua pekan untuk merampungkan selembar kain batik herbal.

Dari sisi harga jual pun berbeda. Untuk jenis batik Gedok atau batik lain dengan bahan kain mori (bukan sutera) di pasaran sekitar seharga Rp 35.000 per lembar. Sedangkan untuk batik herbal bisa mencapai Rp 350.000. Bahkan sampai ada yang menembus harga Rp 600.000 selembar.

Paling tidak apa yang telah dilakukan para aktivis dari KPR Tuban bukan sekadar fenomena. Lebih dari itu mereka telah membuat program pemberdayaan kepada masyarakat di sekitar pabrik PT SG di Tuban. Juga tanpa mereka sadari telah mencoba membangkitkan kembali kejayaan batik Gedok yang telah rapuh digerus jaman.

Kini tinggal bagaimana sikap pemerintah, entah daerah hingga pusat, terhadap kinerja para aktivis tersebut. Yang pasti mereka tak sekadar membuat pelatihan, karena apa yang telah dilakukan bersama perempuan pedesaan itu sebagai program yang tak harus terhenti di tengah jalan.  Dan pemerintah melalui BUMN-nya memiliki tanggung jawab ke arah itu. (dinukil dari suarabanyuurip.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar